LAGU PUTIH PULAU HIJAU I

Karya Willy Siswanto

Pulau ini masihlah rahim ibu kita, saudara,
meskipun air matanya tanpa suara,
dan wajahnya lunglai pupus warna.

Tetapi di dekapannya,
anak-anak akan tetap berlarian
menangkap ikan-ikan hiasan,
dan memecah bayang matahari
di pendaran lingkaran riak laut menari pagi.

Di luas samuderanya,
nelayan akan tetap sederhana,
mendayung perahu kayu kembali ke huma,
dan membelah redup senja jingga hingga purna,
mengantar hati terbuka di meja keluarga.

Pangkalpinang, Nopember 1999

LAGU PUTIH PULAU HIJAU II

Karya Willy Siswanto

Pulau ini adalah rumah cinta kita, saudara,
dimana jejak dan nafas telah kita bentangkan.
: untuk satu anugerah bernama kehidupan.

Pulau ini adalah tanah tua kita, saudara,
dimana nama dan pusara akan kita baringkan,
: untuk tanda istirah panjang, saratnya perjalanan.

Pangkalpinang, Nopember 1999.

LAGU PUTIH PULAU HIJAU III

Karya Willy Siswanto

Pulau ini adalah cerita panjang, anakku,
          tentang rimbunnya daun lada,
                    dan hijau danau tiba-tiba,
          tentang deretan batang karet,
                      dan barisan bukitan pasir,
          tentang tegarnya tiang kapal,
                      dan tebaran jala ikan tetangga.

Pulau ini adalah hati kita, anakku,
          yang menanggung ribuan luka torehan kita,
          yang meneteskan tangis darah tanpa marah,
          yang masih membuka tangan untuk ulurkan maaf,
          yang masih setia alirkan cinta arif bersahaja.

Pulau ini adalah jiwa kita, anakku.

Siapakah yang mesti tetap terjaga,
melantunkan lagu putih dan sajak kaca,
yang mengetuk nurani dan memberi cermin tanya ?
: Di sisa usia.

Pangkalpinang, Nopember 1999

 

ANAK ZAMAN

Karya Ian Sancin

Apa yang kau cari anak muda
kala masih sepi
sebelum mengenal diri
bahkan masih terlalu pagi
untuk pergi.
Ada yang baru belajar mandi, bersolek
juga memasang dasi
terkadang lupa pamitan atau
benci seperti ibu tiri.

Apa yang kau cari anak muda
sebuah dusta, sengsara atau bayangan neraka.
Begitu banyak simpangan jalan dan narkoba diasongkan.
Rambu-rambu seperti bambu rapuh
jalan mulus bergelimang fulus*
dosa adalah asesoris pahatan candi
di negeri, pagar besi dan rasa ngeri.

Apa yang kau cari anak muda
ketika bapakmu tak peduli
tentang PRmu, seragammu dan otak kepalamu
bapakmu sibuk memeluk rezeki
bahkan ada guru yang kencing berlari
disongsong murid yang lupa berdiri
dalam hujan debu peradaban
kebiadaban, reformasi dan transisi.

Apa yang kau cari anak muda
gerbang telah lama mengambang
dunia melihat kau tumbuh atau
pudar meredup di gelombang simponi masa depan
dengan harmoni dan mars harapan.

Anak muda,
buka bajumu yang kotor
sepatumu yang berlumpur
dan celanamu bau ompol
katakan pada kekasihmu
;aku sudah telanjang
dan siap dinobatkan.

23 Nopember 1999.

DILEMA I

Karya Ian Sancin

Jika pulau Bangka adalah Gobi dan Sahara
kita pasti tak kenal pelanduk atau arwana
karna timah dan lada telah kita tukar
dengan domba atau sepasang onta

             Tenda kita adalah langit
             tidak bertiang nyato atau membalo
             tidak juga meranti yang cantik
             tidak juga ramin yang maskulin
             tidak juga mendaru yang ayu
             tidak juga merawan yang rupawan
             apalagi medang yang terpandang

Api unggun kita adalah pelita
dari serpihan batok kelapa
yang hanyut di samudera
membunuh gelap dalam senyap
ketika dingin telah menyergap

Nyanyian kita terdengar sumbang
diiringi rebab tarian gelombang
berlantun pantun berburu gemintang
di padang ilalang
yang teramat lelah dan panjang

             Jika pulau kita adalah Antartika dan Siberia
             kita akan berkelana
             dari selatan dan mentok di utara
             tak kulihat buah manau
             asam keranji ataupun binjai
             asam raman ataupun gelugur
             asam kandis ataupun rumbia
             hanya ada buah fatamorgana

 

DILEMA II

Karya Ian Sancin

Jika pulau kita adalah Venus dan Saturnus
pasti kita makan batu atau debu
bagaimana rasanya kenyang makan batu
dan nikmatnya minum debu, kita rasakan
setengah abad pasti berlalu
adalah pintu ke pintu
dari generasi masa lalu
setelah kita beri kaleng, plastik dan CPU
disuapi angka-angka
tangga dan menara

Jika pulau Bangka bukan apa-apa
maka kita; berupaya.

Bangka, 16 Nopember 1999

 

KONTEMPLASI SATU

Karya Nurhayat Arif Permana

Mari bernyanyi bagi padang terbuka
dan rumput sabana, adinda
Bayangkan bagaimana nurani menyerapnya
dan menempel di kanvas sang batara

Mari menembang bagi hampar samudera
dan riak gelombang pasang, adinda
Bayangkan bagaimana sanubari menyimpannya
dan menoreh dalam lembar gita sang pujangga

Mari lupakan sejenak
Kabel rumus angka dan analisa
Ada saatnya kita jadi manusia

Bukit Nyato, 1999

KONTEMPLASI DUA

Karya Nurhayat Arif Permana

menyisirlah ke sisi pantai
mendengar debur
dan angin senja
melepas renjana
membiarkan ombak membuncah
menarik pepokok kelapa
ada yang berkabar
di sela karang
; masih sering menangis
di balik gerimis?

Bukit Nyato, 1999

 

DI BAWAH TENDA YANG SEJUK

Karya Nurhayat Arif Permana

Di bawah tenda yang sejuk
diantara teguk demi teguk melon shake
kucoba mengingat, bertebaran tenda-tenda
pengungsi di Aceh
Perempuan-perempuan melepaskan rencong
dan menggantinya dengan senapan panjang

Di bawah tenda yang sejuk
diantara reguk demi reguk strawberry lemonade drink
membayang darah dalam cawan tembaga berdebu
meleleh air mata kanak-kanak Pidie
meratapi kematian bapak mereka

Di bawah tenda yang sejuk
mataku berkunang-kunang antara sexy strawberry shake
membayangkan separuh berita di koran
menuliskan tinta merah sejarah bangsa
para pejuang Aceh dan GAM
menuntut kemerdekaan diri

Di bawah tenda yang sejuk
Ah, kusaksikan tenda biru MKT
yang menunggu entah sampai kapan
yang ditunggu entah tak datang-datang
mereka kedinginan sepanjang malam
dan kepanasan sepanjang siang
tak ada karoke tak ada organ tunggal
apalagi memesan shake dan punch.

Di bawah tenda yang sejuk
membayang tenda berwarna kelabu

 

BUNGA PLASTIK AKHIR TAHUN

Karya Fahrurrozi

Kita terjebak dalam situasi yang sama
mengais-ngais catatan sejarah di bawah monumen di tiap jejak,
lalu dijadikan busur untuk menantang matahari
hampir di tiap sudut, air mata menjelma darah, luka, dan cibiran
sementara kita tidak pernah tahu
bahwa para pangeran semakin asyik
bermain kartu di atas kereta kencana
lalu kata-kata dirumuskan, mimpi disimbiosiskan,
nasib dipetakan, hingga akhirnya dipaksa masuk
ke dalam bentangan nasib.
Tapi, luka embun di trotoar tak pernah tersusun

Kita cuma bisa berbaris sambil menenteng bakul-bakul lusuh
yang siap diisi dengan sepenggal nasib
kita hanya bisa ternganga dan berteriak
; jangan mimpi tentang Ratih !
(karena diam-diam putri yang membawa bekal pentungan itu
berkata lirih
; Haruskah bunga plastik ini kupersembahkan juga untukmu, Ibu ?)

Palembang, 1 Januari 1999

ANAK NEGERI (1)

Karya Fahrurrozi

Anak-anak negeri berloncatan
dari zaman melewati pulau
hingga menghilang dalam pertanyaan

Anak-anak negeri berwajah murung
mengais catatan sejarah di bawah monumen proklamasi
sama saja, seperti kita yang sia-sia mengurai mimpi

Anak-anak negeri semakin brutal mencari air susu ibunya
yang menghilang dalam slogan
lalu apa bedanya dengan mimpi?

Sungailiat, November 1998

ANAK NEGERI (2)

Karya Fahrurrozi

Dosa ini bukan untukmu
maka biarkan ia larut dengan sendirinya
menyusuri jalan-jalan kota, mampir di kedai,
lalu hinggap di tempat tidur para pangeran

Anak-anak negeri bergerombol di pinggir jalan
sambil menunggu hujan berhenti mengisak parau
lalu pergi ke halaman dekat kereta kencana
Entahlah, bagi siapa pintu itu akan terbuka

Sungailiat, Desember 1998

ANAK NEGERI (3)

Karya Fahrurrozi

Ia lahir di tengah kepahitan sejarah
lalu merangkak di sela-sela pulau,
sambil memegang sekuntum bunga plastik

Kepada ibunya ia berpegang
kepada ayahnya ia mengepal tinju
kepada angin ia menebar cahaya
anak negeri terus berjalan
menuju tiang bendera
persis dekat tiang gantungan

Anak negeri memandang cemas
ia tak tahu apa-apa kecuali cinta
sebab hanya itulah yang ia bawa

Anak-anak negeri tak pernah diajarkan menggerek bendera
namun ia tahu caranya
meskipun akhirnya mati

Sungailiat, Desember 1998

CERITA SATU MALAM

Karya Heru Herlambang

Menapak jalan sepanjang ini
trotoar hanya tawarkan gadis-gadis sintal
bibir merah merona, dan
jejaka-jejaka pengharap tambatkan
bunga malam pada pojok-pojok tenda berwarna
lalu di depan seonggok menu yang
tak acap terucap dan tak kerap terngiang
berkisah tentang hari yang sudah-sudah

Di lain sudut
orang-orang beralaskan plastik dan beratapkan langit
berlenterakan bintang dan rembulan
bertahan di depan gerbang kekuasaan
wajah-wajah luka setengah putus asa
merentang segala persoalan
tak kunjung usai pada pintu-pintu besi
angkuh dan beku

Lalu,
di seberang sana serambi istana
‘kan bergeliat menggelar drama hidup
anak-anak Adam
si bisu tergagap-gagap memanggil siapa saja
tetapi berlalu hanya menista
dan perempuan-perempuan palsu
menggoda lelaki usia kemarin sore
menggerayang sekujur raga mencari
sorga dibalik tubuh imitasinya
otakpun menggeletar bagai
kuda-kuda liar

Dan di sini
pada peraduan ketika mengadu lelap
kueja setiap kata warta hari ini:
- di rumah, suami-istri bersilang kata
- di jalanan anak-anak bernarkoba ria
- di Istana ada dusta
- di parlemen ada intrik
- desa-desa memercik api amarah
- petinggi kota hanya berdebat soal itu-itu saja
- dan tentang referendum yang menggema di mana-mana!

Di detik berikutnya
jam-jam terus berdetak meluruh waktu
malam kian melarut
warta tercampak tercerai
malam terbenam
terpejam

Nopember 1999

 

BADAI DI UJUNG SUMATERA

Karya Heru Herlambang

Sangkakala telah ditiupkan
pusaran badai kencang berhembus
di ujung Sumatera
orang-orang bertopeng keluar dari
sarangnya mengintai
pada lorong-lorong kota gelap
dan sunyi
mencoba jajaki siapa kawan siapa lawan
‘kan bertarung bila saatnya tiba

Di riuh-rendah sana
manusia-manusia dalam pengungsiaan
cemas menanti seribu satu kemungkinan
nyatanya,
amarah terlanjur menebar di mana-mana
dan bumi makin marak merah dan legam
oleh asap dari gedung-gedung
yang terbakar
Inikah karma?

Adalah negeri ini
dalam tahun-tahun berlalu
berlaku durjana atas saudara sebunda
cerita orang-orang teraniaya dan mati
dianggap sepi
perempuan-perempuan digagahi marwahnya
anak kehilangan ayah entah di mana
hanya tinggalkan
dendam berkepanjangan dan
makam-makam tanpa nisan

Maka
ketika suara lantang menggodam
rentak persada:

Aceh ingin merdeka!

Kita terperangah

Sangkakala telah ditiupkan
pusaran badai kencang berhembus
di ujung Sumatera
matahari sinarnya kelam
di ufuk tenggara
negeri ini bagai menanti
ajalnya tiba

Nopember’1999

 

PRESIDENKU ANEH
           Untuk : Gus Dur

Karya Heru Herlambang

Kami bertanya
Kau malah balik bertanya
Kami bingung
Kau malah tertawa

Kami di sini resah
Kau malah melancong
ke negeri tetangga

Kami marah-marah
Kau malah bilang:
"Kami seperti anak TK"

Kami pun berang naik darah
Ee, kau malah cuma berkata:
"ya sudah, maafkan saya,
gitu saja kok repot!"

Ya, sudah.
Dasar aneh!

Nopember, 1999

TANYA ANAK BANGKA

Karya A.Toni

Aku sudah tidak bisa lagi menembangkan
lagu nenek moyangku
yo miak
lagu daerahku

Laut tidak dapat lagi memberikan
ikannya padaku
lada tidak dapat lagi kutanam
karena kehabisan bibit dan lahan

Pelaut Thailand dengan gagah mengusirku
pengusaha besar dengan leluasa menggilas
lahanku
mereka rampok isi lautku
mereka curi bibitku

MKT bagaikan musafir
di tengah padang pasir
PT. Timah mengalihkan modalnya
ke pulau lain
CPNS dikeroyoki putera luar daerah
KUT tenggelam entah di mana

Salah siapa ?

Gubuk Derita , 28 Nopember 1999

CERITA NENEK DI TEPI JENDELA

Karya SL. Thomas Alexander

Nenek itu merajut kebaya di tepi jendela
sembari menghitung putaran masa di tusukan jarumnya
pada potret matahari yang terbingkai di atas pulau
       : Mungkin mata sayunya sudah lelah
        &nbspmelihat perahu jung yang pulang pergi
        &nbspmenimbak ombak jadi ziarah

Nenek itu merajut kebaya di tepi jendela
gemetar menghitung uban di kepala tuanya
tentang kecantikan di masa muda yang jadi kembang desa
sampai kepincut Ahmad putra pak haji
tapi toh , cuma kenangan belaka
yang menusuk rumbia jadi atap rumah di beranda
dan pantun berbalas di bawah tangga

Nenek itu merajut kebaya di tepi jendela
selepasnya suara lirih bercerita tentang sang cucu
yang pulang dini hari dari diskotik pinggir kota
naik motor mentereng bernama Ninja

Dari bingkai matahari pula ia tahu
masa telah lama berubah
semenjak ia bunting terakhir kalinya
ngidam daun singkong dan mangga muda

Dan ia mengerti
jurus Lingkang Bumi telah dipatahkan
tendangan Dwi Chagi
lagu gambus diiring rebana pada pesta ngantin
sudah tak pernah ada lagi
sejak sang cucu menggoyangkan house musik
di alat bernama VCD

Nenek itu merajut kebaya di tepi jendela
rumah besar yang ditemui di film tivi
hasil sahang beribu ton kebun anaknya
:Ini kebaya cuma akan dipakainya sendiri
membenam rindu akan rumah panggung
yang kini jadi lukisan besar ruang tamu

Nenek itu merajut kebaya di tepi jendela
sembari menunggu matahari jatuh di garis biru laut
berharap bisa mendengar nyanyi nelayan menebar jala
walau dayang-dayang nanti tak lagi berdendang di uma
: cuma hotspan yang membungkus elok tubuh sang cucu
sampai ke jaman berikutnya.

Bangka,1999

ELEGI BUAT BANGKA

Karya Mustafa Kamal

Kau merana karena ditinggalkan bujang dan gadismu
yang lebih terpesona gemerlap kota
dilirik, ditarik magnet hura hura penuh dosa.
Kau tua, penuh luka !
eksplorasi, eksploitasi
dan ekspansi jaringan bisnis
meninggalkan
abrasi, erosi dan emosi
luka di kulitmu.

Oh, Bangka
Kau punya selaksa, mungkin sejuta pesona
Sketsa wajahmu kini tak lagi indah
kehilangan kesucian dan kemurnian bentuk
sepi, sendiri diantara gema suara pendatang
dan deru buldozer serta mesin mesin teknologi canggih.
Kindahan pokok lada berganti pucuk sawit,
entah punya siapa.

Kesuburan bunga tanah terbungkus pasir putih,
yang ilalang pun enggan tumbuh disana,
pantaimu tercemar besi-besi tua dan sampah susila
diskotik, karaoke dan beribu kemaksiatan,
yang entah atas ijin siapa.

Wahai para bujang gadis Bangka.
Dimana idealisme-mu ?
Dimana rasa cintamu ?
Dimana otak pintarmu ?
Taburkanlah semua disini !
Tanamkanlah semua disini !
Di bumi renta yang sendiri ini.

Bangka, oh Bangka akankah kau sepi dan mati,
Setelah digerogoti
setelah dicabik-cabik modernisasi.
Oh, Bangka kini kau sedih.
Karna bujang gadismu kehilangan naluri.

Nopember 1999

PANTAI UTARA BANGKA PENGHUJUNG 1999

Karya Mustafa Kamal

Senja kelam turun perlahan
membangun gelap dan menata siluet alam
di sini di ujung utara Bangka
di bawah temaram purnama rangka raksasa-raksasa baja
tampak kokoh perkasa
Satu.
Dua.
Tiga.
ada tiga rupa sama
dengan deru yang sama pula
mengeruk, menggali dan merobek
dasar laut pantai utara Bangka yang indah
hanya untuk dapatkan "Pasir Hitam?"
"Timah!"

Di sini di ujung Utara Bangka
di penghujung 1999
semua tampak sejahtera
"Entah, nanti di 2003"

26 Nopember 1999

MALAM DI SEBUAH PANTAI

Karya Dedi Priadi

Aku kembali padamu, masih sendirian
berpijak di atas hamparan pesisir
menikmati lidah gelombang yang menjilati hujung kaki
masih sendirian
kesiuran udara garam yang menampar daun-daun bakau
menceritakan dongeng usang,
tentang kepahlawanan karang-karang menantang gelombang
tentang perahu-perahu yang tertambat dan tergeletak begitu saja
diamnya memberitakan sesuatu
kisah kepiawaian ombak menelaah musim
laut terjaga
laut yang gelisah saat jaring-jaring terentang mencoba membedah
misteri alam yang menua dalam kandunganmu,

Aku masih di sini
sibuk sendiri menelaah asa-asa yang mengayut mesra bintang-bintang
sibuk sendiri mencari kata-kata yang berserah makna pada angkasa,
aku, terhukum oleh masa silam
oleh wajah-wajah yang bergoyang di pucuk-pucuk pohon kelapa
masih di sini
sajak-sajak meronta minta dilepaskan
bersarang ia di dada
membentuk kubangan hitam di kepala
menjadi rawa-rawa menjadi gelisah
aku di sini
bahkan tak tahu dari mana mesti memulai
hanya sepatah kata, menjadi prakata:
"Sepi!"

Belinyu, 27 Nopember 1999

AKU KAU DAN SESUATU DI ANTARANYA

Karya Dedi Priadi

Yang datar saja
menikmati sosok sepi yang senggama di ruang
menetaskan janin-janin percakapan yang sendiri tanpa pasangan
merenungi suasana lengang
mengendus aroma apeknya kesumpekan,

sementara
cinta-cinta mencari bentuk semayam
yang sederhana saja
seperti saat kau pentaskan tarian
dimalam tenang tanpa tetabuhan
tanpa pernak-pernik panggung
gemerlapan,
lupakan saja!
karna saat ini kita ada di satu ruangan ;
aku, kau dan sesuatu di antaranya
atau baiknya ku tulis sajak saja
sembari kau liukkan tubuhmu
kuungkapkan tentangmu
tentang sepi yang punya kuasa
tentang cinta yang tersamar kejab tarikan nafasmu,
daripada kita siksa
daripada pasrah...
dan perlahan, sejakupun berangkat; jadi malam!

Belinyu, 24 Nopember 1999

MENYELUSURI TANAH MATI

Karya Sobirin

Kasih, sekedar pelepas rinduku akan hadirmu
menemani langkah-langkah anganku
ingin aku hadirkan tawamu
ingin aku hadirkan desahmu
ingin aku telusuri indahnya kenangan yang
pernah ada diantara kita
ingin aku puisikan rona wajahmu

Kasih, dari semua inginku
yang tertumpah pada kertas ini hanya gelisahku
akan tanah ini
tanah tempat kau dan aku terlahir
tanah tempat kita pernah memadu kasih

Kasih, kutelusuri pantai kenangan kita
yang kini sudah tak bertepi terkena abrasi
pantai itu kini sudah mati
nyiur tak lagi melambai
cemara tak lagi mencumbui angin
yang kini tersisa hanya batang yang bergelimlangan
porok-poranda dihantam pasang

Kasih, laut yang dulu jernih mengantar ombak
dan buih putih mencumbui kaki telanjangmu
kini penuh sampah gelap berlumpur
karang yang kokoh menamtang pergi tak berjejak
camar tak lagi pulang membangun sarang
karena bakau habis ditebang

Kasih, bukit yang hijau kini tinggal tunggul arang keserakahan
tak ku lihat lagi elang keluit mencicit terbang
mentari bunga durian ketika senja menghadang
tak ku lihat lagi punai bersarang di rumpun sahang
tak ada lagi desa yang damai
senyum ramah bujang dan dayang tak lagi mengembang

Kasih, tanah ini kini menjadi arena perkelahian
parang dan kelewang telah menggantikan tegur sapa
belati begitu mudah menari

Kasih, tanah ini bukan lagi tanah impian
pesta adat kawin massal sudah menjadi barang usang
makan balai tanda keramahan dan persaudaraan
sudah menjadi dongeng menjelang tidur
sepintu sedulang tinggal semboyan di pintu gerbang

Kasih, tak usah kau kembali lagi ke tanah ini
besok atau lusa mungkin sudah tenggelam
ditelan keserakahan

Gadung, 13 Nopember 1999

 

ANUGERAH , MUSIBAH ?

Karya Zainal Abidin

Ketika terbang tigaribu kaki di atasnya
Aku terlena, alangkah indahnya
danau-danau kecil biru terhampar
seolah disusun rapi
di celah perbukitan

Permadani putih bercampur merah
Terbentang di sana-sini di celah hutan

Di sebelah muara,
air berwarna penuh pesona
coklat, pink dan hitam
seperti bermain dengan bentang awan dan cahaya mentari
Semua panorama menantang, mengundang
Membawa kesan pariwisata

Renungi, arungi sepuasmu
di sana ada karya seniman dunia

Kaki menjelajah
Terperangah dan kian terperangah
Ketika lebih banyak melangkah
Antara kesal, lelah dengan desah
Masya Allah!
Kiranya tanah ini tidak lagi indah
Alam ini pun tidak lagi ramah
Semua seperti sedang gelisah
Kapan lagi anak bangsa menjamah

Hai anak pulau!
Jangan kau tak hirau
atau matamu menjadi silau
Ayo lihat kenyataan !
Ribuan hutan sudah gundul
Diselingi reklamasi kurus
Tanaman kemarin seperti kerakap di atas batu.

Ribuan hektar tanah tergali
Kini kedinginan berselimutkan kolong sepi
Jutaan kubik tanah terbongkar
Tinggalkan tanah merah terbakar, panas sekarat
Dan ikan tawar yang bosan hidup, habitat terusik berat
Tragis menyesakkan dada

Besi tua teronggok dimana-mana
Limbah plastik tertinggal begitu saja
Tak ada lagi daratan ramah
Kecuali puncak bukit yang tak bertimah

Kemana tanya akan kusampaikan ?
Apakah ini sebuah musibah ?
Atau sebuah anugerah ?
Atau sebuah nasib untukmu ?
Tanahku tersayang,
K O B A

Puisi-Puisi di sini merupakan hak cipta intelektual KPSPB

Copyright © 1999