HIKAYAT
NEGERI SELATAN
cerita buat Michael Boy
Karya S.L. Thomas Alexander
Mike, mengunjungi tanah
bapakmu ini
kuterkenang ekspedisi Laksamana Cheng Ho
mencari pangeran yang melarikan diri ke negeri Selatan
seraya mengutuk buah duku dengan mulut bertuah
sampai dapat dimakan, dan
membakar pohon kelapa semakin subur
:
Riwayat itu tak cuma tinggalkan
Legenda Sunda Kelapa jadi Jakarta
dan kelenteng Sam Po Kong di Semarang
Juga membentangkan niat picik rumah panggung
dari Betawi hingga bumi Vanka
       (Pernahkah kau merasakan gurihnya ikan
yang
       lompat ke sampan?)
Mike, tatkala para lanun
datang menjarah
dengan api dan pembantaian
yang tersisa di sini dulu mungkin tangis menyayat bulan
Tapi apa yang bisa kita omong sekarang
ketika pendulang pendulang dari kampung
berbondong merampok dan membakar pertambangan
atas alibi perlu makan dan tanah nenek moyang
Mike, pentangkanlah mata
dan telingamu lebar lebar
bukan melihat rumah megah hasil sahang
atau pesta ngantin yang mengundang artis ibukota
apalagi melihat bujang bujang mengasah parang
lalu menyerang ke desa tetangga atas nama solider
bukan pula melongo bingung karena meributkan
ibukota kabupaten sebelum propinsi impian
              :
Namun, aku tahu di huma ini
                bapakmu masih berlari mencari wudhu di mata air
                seperti dahulu ketika tiba tiba adzan
                membahanakan niat kudus
Mike, sebenarnya banyak cerita yang ingin kusampaikan padamu
tentang sekepal hikayat tua bumi lelah kita
dari telapak kaki Akek Antak di Batu Betumpang,
Sumpah si Pahit Lidah dan Bujang Katak,
sampai tanah harapan urang Habang
yang mengais ngais sejarah antara kebun tebu dan Panglima Ali
Atau kisah Cina perantauan yang membuka toko
di sepanjang jalan kota -
yang masih bergolak di lautan amat silam
              : Adalah
perjalanan panjang ke negeri Selatan
                mencari pengharapan, yang
                menulis roman Janji Tiga Kerajaan
                jadi Kuan Ti Miaw di Pangkalpinang
                untuk satu pulau bernama kemakmuran yang tersiar
Mike, barangkali hanya sebuah puisi yang bisa
kubacakan untukmu sebagai teman main mengenal bulan dan matahari
atau menggantungkan bintang di atas kota terasi
- yang paling utopis!
Karena penyair dan air mata
adalah dua hal yang memprihatinkan
di atas mimbar millenium ketiga, bagaikan
hidup di awang-awang
Pulau Bangka, Maret 2000
Karya Willy Siswanto
( 1 )
Sejarah kita mengerikan.
              Kalau
untuk aurat Ken Dedes dan tahta Tumapel,
              Ken Arok
harus menghunuskan keris kelok tujuh,
              ke jantung
Mpu Gandring dan Tunggul Ametung.
              Kalau
perompak merebut kuasa,
              dan
memangsa rakyat jelata di ladang lapang
              bagai
serigala serakah betina.
Tapi kita warisi juga keberingasan-nya
untuk jaman berikutnya.
Sejarah kita mengerikan.
              Ketika kibaran panji-panji
Majapahit
              yang melintasi selat Malaka
              
tertancap dalam okupasi
              
di daratan manusia seberang
samudera ?
: Berapa jiwa terkorbankan yang dapat kita hitung
 
untuk membayar ekspansi adventuristik dan
kolonisasi
 
bertopeng perdagangan dan kegagahan ?
: Adakah yang masih ingin menengadahkan kepala
 
dan membusurkan anak panah, dengan dada ?
              
Atau karena pelayaran menyusuri
Chinabato
              
yang memonumentalkan benteng Kuto
Panji,
              
setelah telinga kanan Meng Wi,
kurir Kubilai Khan
              
tertebas pedang punggawa, harus
dibungkus saputangan
              
dibawa pulang ke Monggolia.
: Siapa yang melahirkan kedengkian lebih akrab
 
dari ikatan genetikal penghuni bumi Asia ?
( 2 )
Sejarah kita mengerikan,
saudaraku !
              Karena disela perjuangan membela
harkat bangsa dari
              penjajahan,
              
masih ada yang bersorak
menghitung barang jarahan,
              
sembari menghisap cangklong candu
rampasan,
              dipangkunya tiga wanita tanpa
kebaya.
: Dan telah kita tiru mentah-mentah,
  kelakar dan senyum kemenangan mereka atas
penindasan,
 
saat bambu runcing menembus pusar sawo
matang,
 
dari sahabat sepermainan masa kecil
 
di kampung halaman paling setia.
( 3 )
Sejarah kita mengerikan,
saudaraku !
              
Karena seluruh kekejaman dan
kebengisan
              
telah kita santap habis-habisan,
              
sepanjang jaman. Seperti tayangan
drama laga
              
yang menghalalkan pembantaian di
detik seluloid.
              
              
dari peradaban yang bingung
dengan
              
arti kehidupan dan kedamaian.
              
Sebentar lupa Tuhan berdiri di
sebelah mana.
              
              
cerita kebiadaban binatang,
              
lebih dalam dari luhurnya panca
sila.
              
Sembari menenggak tuak,
              
menepuk-tangani pecahnya wejangan
para ulama
( 4 )
Sejarah kita mengerikan
!
              
Karena doa dan mantra brahmana
telah berserakan
              
diantara genangan darah dan
regangan jiwa,
              
wajah-wajah penuh tanda tanya,
              
pucat mayat ditinggalkan roh-roh
terkapar di jalanan.
Sejarah kita mengerikan,
saudaraku !
: Dan jangan sekali kau tak percaya ia masih akan terulang.
: Karena kita alpa kemanusiaan.
Pangkalpinang, 8 Pebruari 2000
Karya Willy Siswanto
Biarkan. Angin pantai ini
mengabarkan berita kota seberang.
Dengar saja. Mungkin ada perahu yang kembali pulang.
Ladang. Masih terbentang menunggu sahang dan bujang.
Sunggingkan senyum syukurmu kepada Matahari.
Ia yang paling setia menunggu bumi hijau kaki.
Lepaskan. Sekarang. Tali ketakutan
dari ujung kayu.
Tebarkan jauh. Ketengah. Jala dan jaring memanggil ikan-ikan.
Tunggulah. Tunggu. Sebentar. Sabar.
Desa lalang merebakkan kembang.
Para dayang bersolek mekar menyambut petang.
Pagi, jagalah angin perahu,
matahari dan embun,
bujang dayang, sahang kembang,
jala dan ikan, tanah dan petang.
: Padang ini akan hilang.
Lembawai. Juli 2000
Karya Tarmizi Jemain
Berilah kepercayaan dan kesempatan
Pada kami anak negeri pulau ini
Untuk melaksanakan otonomi daerah
Dalam Bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia
Kami punya timah dan lada
Dan kekayaan laut yang cukup melimpah
Mampu menghidupi rakyat dengan sejahtera
mampu memberikan kontribusi bagi negara
Jangan ragu-ragu
Sekali propinsi tetap propinsi
Ini aspirasi murni
Tidak ada konspirasi
Bangka Belitung pulau nan elok
Rakyatnya tidak garang penuh toleran
Cinta damai dan persatuan
menyongsong masa depan penuhharapan.
Pangkalpinang Juni 2000.
PENGADUAN
               Kepada Ibuku Kartini
Karya Ira Esmeralda
Aku mencoba melantunkan nyanyimu Ibu
walau dengan syahdu yang tinggal sisa
sungguh gelap itu belum lagi terbitkan benderang
masih kami tersaruk dalam keremangan
di antara kecamuk advokasi gender dan emansipasi rancu
Adakah kau saksikan Ibu
di Aceh mereka kini bersendiri tanpa kekasih
korban seragam loreng atau justru kerelaan sebagai syuhada
mereka berbaris dalam gempita perjuangan
yang bertahun dilakoni tanpa sorak-sorai
tanpa tiupan sangkakala seperti baratayudha
Itukah keinginanmu Ibu?
ketika sekaummu mengokang senjata
dan nikmati ajalnya sebagai jihad?
kalaulah engkau menangis
air matamu tak akan sanggup menetesi jiwa mereka
cara menggenggam dan menggunakan rencong
di saat engkau menggenggam pena
sendirian menulis keluhan terkekang dalam tembok keraton
Ibu
berdukakah engkau ketika Marsinah mati teraniaya
ketika Dita kehilangan privacynya
Dan di sini ketika buruh-buruh sawit sekaummu
berjejal di atas truk terbuka
Aku tak menyalahkanmu,
seandainya duka itu tak sampai pada mereka
engkau memang tak pernah langsung
ikut dalam tapak dan nyanyian kerja mereka
ketika engkau berseru untuk emansipasi
perempuan-perempuan di dusun turun ke sawah
dengan para lelakinya
menanam dan memanen bersama
Ibu
Adakah komentarmu
ketika perempuan-perempuan berstatus sosial tinggi justru
merendahkan dirinya mengharapkan jatah
dalam jajaran pengambilan keputusan
Bagaimana engkau bersikap
di saat perempuan-perempuan berstatus ekonomi tinggi
serentak menaikkan tinggi-tinggi roknya
dan menurunkan belahan dada bajunya
Apa yang akan kau bilang
pada mereka yang mencibir pelacur
sementara mereka sendiri merengek-rengek dengan desah manja
dalam bernegosiasi?
mereka pelacur dari jenis yang berbeda
tetapi maknanya tetap sama
Di koran dan majalah
di gosip yang lebih lancar beredar dalam masyarakat
bahkan juga di sinetron yang digemari kaummu
selalu mengangkat perselingkuhan
aku tak akan minta pendapatmu
kumaklumi perasaanmu sebagai perempuan pun sebagai istri
Ibu,
Ibuku yang malang
engkau simbol ketakberdayaan sekaligus lambang
pemberontakan
Aku hanya tak ingin engkau jadi monumen
tentang kekuatan perempuan yang terletak pada kelemahannya.
Sungailiat, Agustus 2000
Karya Ian Sancin
Betapa mudahnya
menumpahkan warna-warna
di kertas putih pantai sunyi
dalam garis panjang
ataupun lengkung
di malam panas dan
dan siang dingin.
Betapa aku telah
begitu lama
sampai ke muara
di gerbang terbuka pintu Tuhan
wahai,
benarkah wajah bulan
telah terluka
setelah kita coreti sepanjang
zaman.
Beri aku kesaksian
hari ini
atau aku harus melepas satu demi satu
milik bumi yang luka
dan tanpa jazad
meniti lembutnya angin
sambil mengingat erangan sakit
setitik nyawa tanpa daya,
membawa perut kosong mengarungi
siang malam
di lumbung belukar persawahan.
Atau harus kukejar
waktuku
yang kugadaikan percuma
di jalanan raya
di belakang garis lurus tanpa ujung
agar dapat kutahan sejenak
menoleh ke belakang
dan mengingatkan kakiku yang letih
untuk apa aku
berjalan.
Beri aku kesaksian
tentang bulan
yang merana tak pudar
menyaksikan kita dalam sandiwara
atau pura-pura lupa
mengintip kita menyembunyikan malu
dalam puisi atau khotbah jenaka
mentertawakan kita kasmaran dengan
cinta digelitik cinta
melihat kita yang telanjang
di tengah kota mengambil senyum orang
dengan dusta.
Beri aku kesaksian
hari ini
tentang bulan yang punya cahaya
memandikan setiap anugerah
di sudut bumi di petang malam
kita telah lama menyimpan letih
bahkan membasuh air mukanya
kita takkan mungkin melukis bulan
di wajah bulan
karena ia lukisan Tuhan.
Pangkal Pinang, 23 Juni 2000
SUATU PAGI DI PERKAMPUNGAN NELAYAN
Karya Ian Sancin
Surut dari gelap
mentari mulai menyergap
camar mencicit
anak-anak bermain rakit; ia diam
Sampan melekat
satu-satu
ia tanya tak ada yang tahu
dan menapaki pantai
hingga pagi usai
Ayah ditelan badai
dan adik belumlah pandai
besok sudah pasti
berhenti sekolah
bertarung melawan badai
Pangkal Pinang, Juli 2000
Puisi-Puisi di sini merupakan hak cipta intelektual KPSPB
Copyright © 2000